KOMET
Komet adalah benda langit yang mengelilingi matahari dengan
garis edar berbentuk lonjong, parabolis, atau hiperbolis.[1]
Istilah "komet" berasal dari bahasa Yunani,
kometes (κομήτης) yang berarti "rambut panjang".[2] Istilah lainnya
adalah bintang berekor[3] yang tidak tidak tepat karena komet sama sekali bukan
bintang[3]. Orang Jawa menyebutnya sebagai lintang kemukus karena memiliki ekor
mirip 'kukus' atau berdebu.[4] Di samping itu, ekornya juga mirip buah kemukus
yang dikeringkan.
Komet terbentuk dari es dan debu.[5] Komet terdiri dari
kumpulan debu dan gas yang membeku pada saat berada jauh dari Matahari.[1]
Ketika mendekati Matahari, sebagian bahan penyusun komet menguap membentuk
kepala gas dan ekor.[5] Komet juga mengelilingi Matahari, sehingga termasuk
dalam sistem tata surya.[6] Komet merupakan gas pijar dengan garis edar yang
berbeda-beda.[6] Panjang "ekor" komet dapat mencapai jutaan km.[2]
Beberapa komet menempuh jarak lebih jauh di luar angkasa daripada planet.[7]
Beberapa komet membutuhkan ribuan tahun untuk menyelesaikan satu kali mengorbit
Matahari.[7]
Komet dapat dilihat ketika masih jauh dari matahari, bagian
yang pertama kali dilihat adalah inti komet. Komet merupakan benda angkasa yang
mirip asteroid, tetapi hampir seluruhnya terbentuk dari gas (karbon dioksida,
metana, air) dan debu yang membeku.
Komet sering juga disebut dengan bintang berekor. Komet
memiliki orbit atau lintasan yang berbentuk elips, lebih lonjong dan panjang
daripada orbit planet. Komet merupakan benda angkasa seperti lapisan batu yang
terlihat mempunyai cahaya dikarenakan adanya gesekan-gesekan atom-atom di
udara.
Sejarah komet
Selama berabad-abad, kemunculan sebuah komet dipercaya
sebagai suatu pertanda akan datangnya sebuah malapetaka besar. Penampakan sebuah
komet dan sesekali pula pergerakannya dicatat secara akurat. Astronom Babilonia
dan Tiongkok mempercayai bahwa komet adalah objek yang beredar di angkasa
sebagaimana halnya planet. Bangsa Yunani beranggapan bahwa komet adalah
fenomena atmosfer, sejenis dengan uap air yang berasal dari permukaan Bumi.
Pandangan ini sempat diterima secara meluas hingga pada abad XVI, saat Tycho
Brahe memaparkan pandangannya bahwa komet tidak hanya sebuah fenomena alam,
tetapi diyakini sebagai sebuah benda angkasa yang letaknya dari bumi lebih jauh
daripada Bulan.
Seabad kemudian, Isaac Newton menemukan sebuah metode untuk
menghitung orbit dari sebuah komet berdasarkan lintasan yang dapat diamati di
angkasa. Newton menentukan bahwa komet yang tampak pada bulan Desember 1680
mengikuti orbit parabola yang sangat panjang. Edmond Halley, seorang ilmuwan
yang hidup sezaman dengan Newton menemukan bahwa orbit dari komet yang pernah
muncul pada tahun 1531, 1607, dan 1682 adalah hampir identik. Penemuan ini
membawanya kepada suatu kesimpulan bahwa ketiga penampakan tersebut melibatkan
komet yang sama. Ia kemudian meramalkan bahwa komet tersebut akan muncul lagi
pada tahun 1758. Sayang, usianya tidak cukup panjang untuk bisa menyaksikan
kebenaran ramalannya itu. Penampakan komet tersebut–yang kemudian dinamai komet
Halley–ternyata telah tercatat sebanyak 20 kali sejak tahun 239 SM.
Penampakannya yang terakhir adalah pada tahun 1985-1986.
Komet yang baru ditemukan biasanya diberi nama menurut tahun
penemuannya ditambah sebuah huruf yang mengindikasikan urutan penampakan komet
itu pada tahun saat komet tersebut ditemukan. Saat tanggal waktu komet mencapai
titik perihelion dapat diketahui, komet itu segera dinamai menurut angka tahun
kalender saat itu dikuti dengan angka Romawi yang menunjukkan urutan kronologis
perlintasan pada perihelion pada tahun itu (misalnya, 1882 II). Beberapa komet
dinamai menurut nama penemunya, misalnya komet Halley; juga komet Hale-Bopp
yang dinamai menurut nama dua orang astronom amatir yang melaporkan penampakannya
pada malam yang sama pada tahun 1995.
Asal-usul komet
Komet berasal dari awan Oort yang terletak di sisi luar
sistem tata surya. Awan Oort berisi triliunan komet. Seiring berjalannya waktu,
komet-komet berpisah dari awan dan terlempar ke matahari. Inti komet terletak
di pusat, terbuat dari gas serta debu batuan dan merupakan benda padat yang
stabil. Pada saat komet mendekati matahari, sebagian materi tersebut terlempar
dari permukaan inti komet.
Ekor ion, dapat mencapai 100 juta kilometer, terbentuk dari
proses ionisasi gas pada saat berinteraksi dengan angin matahari; dan ekor
komet selalu menjauhi matahari. Hal ini disebabkan oleh angin matahari menerpa
awan gas yang melingkupi komet. Ketika komet mendekati matahari, ekornya
terbentang ke belakangnya.
Komet baru yang saat ini teramati tampaknya berasal dari
selubung benda es yang besar yang berada sekitar satu tahun cahaya dari
Matahari. Model ini dikembangkan tahun 1950-an oleh astronom Belanda Jan Oort
(1900–1992). Awan Oort yang belum teramati tersebut dapat memuat 100 miliar
benih komet.
Gangguan gravitasi dari bintang lain di sekitar Matahari
dapat mengganggu keseimbangan awan ini dan mengirimkan beberapa komet secara
acak menuju Matahari. Komet tersebut akan menjadi komet periode panjang, yang
orbitnya hampir parabola dan periode revolusinya mengelilingi Matahari mencapai
200 hingga jutaan tahun.
Komet dengan periode yang lebih pendek mengorbit seperti
planet dan berasal dari Sabuk Kuiper. Sabuk ini berada lebih dekat ke Tata
Surya dalam daripada Awan Oort.
Bila sebuah komet lewat di dekat sebuah planet-planet besar,
terutama Yupiter, komet akan dipengaruhi oleh gravitasi planet tersebut. Komet
dapat jatuh ke planet; atau dipercepat lajunya dan keluar dari Tata Surya, atau
bergerak dalam orbit lonjong lebih dekat lagi ke Matahari.
Banyak teori yang telah dicetuskan dalam seabad terakhir ini
mengenai asal mula komet, namun salah satu yang paling luas diterima saat ini
menyebutkan bahwa komet terbentuk pada saat yang sama dengan saat terbentuknya
tata surya. Pada tahun 1950, Jan Oort, seorang astronom Belanda mengajukan
teorinya bahwa Matahari dikelilingi oleh “kabut” besar yang terdiri dari
material komet pada jarak sekitar 1000 kali garis terngah tata surya yang kita
ketahui. Teori ini kemudian diikuti dengan teori dari Gerard Kuiper, pada tahun
1951 yang menggagas bahwa sabuk material komet tersebut terletak pada suatu
daerah yang berjarak beberapa ratus kali jarak Bumi-Matahari. Gangguan yang
berasal dari objek di luar tata surya dapat menyebabkan beberapa di antara
material tersebut keluar dari sabuk komet dan memasuki tata surya bagian dalam
sebagai sebuh komet, di mana komet dengan periode pendek diduga muncul dari
sabuk ini, yang kemudian dinamai sebagai sabuk Kuiper.
Kedua teori ini dapat diterima secara luas dikalangan para
astronom. Sebuah benda angkasa yang dinamai Chiron, pernah dianggap sebagai
sebuah asteroid, kini dikelompokkan sebagai komet Kuiper-belt, dan sementara
itu beberapa anggota dari sabuk Kuiper telah dapat diamati sejak 1992.
Keberadaan “sabuk” tersebut dapat dibuktikan secara langsung pada tahun 1995
melalui hasil pengamatan lewat Teleskop Antariksa Hubble yang berhasil
mengamati 30 objek mirip komet yang berada di luar orbit planet Pluto. Para
astronom dewasa ini memperkirakan sejumlah 70.000 objek berukuran cukup
besar–dan tak terhitung jumlahnya yang berukuran lebih kecil–menghuni daerah
sabuk Kuiper dengan jarak antara 30 hingga 50 SA.
Banyak di antara komet, khususnya yang tergolong memiliki
periode pendek, pecah secara perlahan-lahan, terutama karena pengaruh kekuatan
gravitasi Matahari. Beberapa di antaranya telah diamati “tercebur” kedalam
Matahari. Pengurangan kecerlangan dari komet berperiode pendek juga dapat kita
amati. Komet juga menghasilkan buangan di belakang orbitnya, dalam bentuk
jutaan meteoroid. Saat Bumi melintasi orbit sebuah komet, dapat disaksikan
hujan meteor.
Bagian-bagian komet
Bagian-bagian komet terdiri dari inti, koma, awan hidrogen,
dan ekor.[8] Bagian-bagian komet sebagai berikut.[9]
Inti, merupakan bahan yang sangat padat, diameternya
mencapai beberapa kilometer, dan terbentuk dari penguapan bahan-bahan es
penyusun komet, yang kemudian berubah menjadi gas.
Koma, merupakan daerah kabut atau daerah yang mirip tabir di
sekeliling inti.
Lapisan hidrogen, yaitu lapisan yang menyelubungi koma,
tidak tampak oleh mata manusia. Diameter awan hidrogen sekitar 20 juta
kilometer.
Ekor, yaitu gas bercahaya yang terjadi ketika komet lewat di
dekat Matahari.
Inti komet adalah sebongkah batu dan salju.[10] Ekor komet
arahnya selalu menjauh dari Matahari.[8] Bagian ekor suatu komet terdiri dari
dua macam, yaitu ekor debu dan ekor gas.[11] Bentuk ekor debu tampak berbentuk
lengkungan, sedangkan ekor gas berbentuk lurus.[11] Koma atau ekor komet
tercipta saat mendekati Matahari yaitu ketika sebagian inti meleleh menjadi
gas.[12] Angin Matahari kemudian meniup gas tersebut sehingga menyerupai asap
yang mengepul ke arah belakang kepala komet.[12] Ekor inilah yang terlihat
bersinar dari bumi.[12] Sebuah komet kadang mempunyai satu ekor dan ada yang
dua atau lebih.[11]
Saat bersinar di langit, sebuah komet yang terang memiliki
kepala dengan inti mirip bintang yang disebut nukleus. Nukleus dikelilingi oleh
halo yang berpendar yang disebut koma dan ekor transparan yang panjang. Nukleus
berukuran beberapa kilometer. Koma panjangnya dapat mencapai 100 ribu km atau
lebih keluar dari nukleus. Ekor dapat berukuran sepanjang jutaan kilometer di
antariksa.
Pengamatan ultraviolet dari pesawat luar angkasa menunjukkan
awan hidrogen besar yang menyelimutinya. Awan hidrogen ini dapat tumbuh
mencapai puluhan juta kilometer. Awan ini tidak dapat dilihat dari bumi.
Inti (nukleus) dan koma
Hampir seluruh massa komet terpusat pada nukleus (inti
komet). Diameter dari nukleus biasanya berkisar antara beberapa kilometer
dengan kepadatan antara 0,1 hingga 1 g/cm³, mengindikasikan bahwa kepadatannya
termasuk renggang. Berdasarkan model “bola salju kotor” yang digagas oleh Frel
L. Whipple, yang berdasarkan penelitian lanjutan kemudian terbukti
kebenarannya, nukleus komet tesusun dari sekumpulan materi yang terdiri atas
air, karbon monoksida, metanol, amonia, dan metana. Seluruhnya dalam keadaan
beku serta tercampur dengan debu. Saat komet mendekati Matahari, materi beku
tersebut menyublim dan membentuk kabut gas dan debu—yang disebut koma—di
sekeliling nukleus. Makin dekat ke Matahari, gas yang terbentuk semakin banyak.
Partikel-partikel pada komet terdorong dari nukleus oleh tekanan radiasi dan
angin Matahari (aliran partikel Matahari).
Rata-rata diameter dari koma adalah sekitar 100.000 km,
namun massanya terbilang kecil. Beberapa molekul terdekomposisi dan terionisasi
oleh sinar ultraviolet dalam pelepasannya dari nukleus ke ekor komet.
Hasil-hasil yang dapat diamati dari proses ini meliputi atom-atom hidrogen dan
oksigen, air, dan radikal hidroksil (OH). Molekul dan senyawa karbon juga
ditemukan dalam konsentarasi yang 100 kali lebih rendah dari nukleus, sementara
jumlah molekul NH, NHH, CH, dan molekul nitrogen ditemukan dengan konsentrasi
1000 kali lebih rendah. Juga terdeteksi karbon monosulfida (CS) dan serta atom
dan molekul sulfur. Sementara itu unsur etana juga ditemukan di komet
Hyakutake. Bagian koma dari sebuah komet umumnya mengecil saat komet mendekati
Matahari, dan molekulnya terdekomposisi lebih cepat oleh angin Matahari
sehingga terdorong ke arah ekor komet.
Miliaran komet mungkin mengorbit jauh di pinggir terluar
tata surya, namun tidak dapat dilihat dari bumi. Komet-komet itu bersinar di
langit hanya saat bergerak di dekat Matahari. Penjelasan yang paling diterima
luas mengenai komet adalah model "bola salju kotor", yang diajukan
oleh astronom AS, Fred Whipple tahun 1950.
Saat sebuah komet berada di bagian jauh tata surya, komet
hanya terdiri dari nukleus. Tanpa ekor dan tanpa koma. Bentuk dan permukaannya
tidak beraturan. Nukleus tersusun sebagian besar oleh air beku dan gas beku
lainnya (salju) yang bercampur dengan padatan logam atau batuan (kotor).
Kepadatannya sangat rendah begitu juga gravitasi permukaannya.
Citra dari pesawat ruang angkasa menunjukkan bahwa nukleus
bekunya berwarna hitam gelap dan berotasi. Ketidakteraturan permukaan inti
terdiri atas retakan, bukaan dan kawah.
Nukleus menjadi aktif saat komet mendekat matahari. Awan
debu dan gas, terutama tersusun dari uap air, menyembur dari celah permukaan
setiap kali nukleus menghadap ke Matahari.
Gas yang terlepas dari nukleus terdiri dari 80 persen uap
air dengan sisa zat lain seperti karbon dioksida, karbon monoksida, amonia, dan
metana. Sebagian butiran debu tersusun dari silikat; sementara sisanya berupa
debu yang tersusun atas karbon, hidrogen, oksigen, dan nitrogen. Es, debu, dan
gas ini terbentuk pada suhu yang rendah.
Sebagian butiran debu yang baru terkumpul memuat mineral
yang terbentuk pada suhu tinggi. Debu ini terbentuk saat komet dekat dengan
matahari. Partikel yang berasal dari lingkungan yang berbeda ini berkumpul pada
komet yang letaknya jauh dari matahari, masih misterius.
Para ilmuwan terkesan ketika menemukan adanya molekul
organik kompleks dalam materi yang mereka kumpulkan dari komet, yang mungkin
dapat memiliki makna penting bagi asal-usul kehidupan di Bumi.
Saat nukleus komet memasuki tata surya dalam sekitar
beberapa ratus juta kilometer dari Matahari, ia mengalami pemanasan. Gas
menyublim dan lepas ke antariksa bersama debu dari permukaannya. Gravitasi
komet terlalu lemah untuk menahan lepasnya gas dan debu. Mereka menyebar ke
sekitar nukleus sejauh ribuan kilometer dan membentuk koma.
Komet bersinar karena gas ini berpendar dan debu memantulkan
sinar matahari. Astronom menggunakan teleskop besar untuk mencitrakan sekitar
25 koma per tahun.
Ekor komet
Saat komet yang menyala dapat terlihat, ciri yang paling
mencolok adalah ekor. Dalam penampakan komet Halley pada tahun 1910, ekor komet
terentang hingga lebih dari 90º di lengkung langit. Dalam penampakan komet
Halley yang terakhir sekitar tahun 1985-1986, titik pemanjangan ini tercapai
saat komet berada dalam sudut yang jauh dari Matahari, sehingga tidak terlihat
terlalu dramatis di langit malam.
Panjang ekor komet berkisar antara 1 juta hingga 100 juta
km. Ekor komet biasanya pertama kali muncul saat komet berada pada jarak 1,5 SA
dari Matahari. Meskipun berukuran sedemikian besar, namun setiap 1 km³ volume
ekor komet mengandung materi lebih sedikit dibandingkan dengan 1 mm³ udara.
Saat sebuah komet berada di dekat Matahari, komet dapat
memunculkan ekor gas dan debu yang dilepaskan dari nukleus. Radiasi ultraviolet
mengubah gas menjadi radikal bebas dan ion. Ion berinteraksi dengan partikel
bermuatan yang disemburkan oleh Matahari melalui angin matahari. Ion ini pada
akhirnya membentuk ekor gas atau ion yang selalu menjauhi matahari.
Tekanan radiasi, atau pancaran sinar matahari yang kuat,
mendorong partikel debu keluar. Komet terus bergerak dan ekor debunya
melengkung di belakangnya. Ekor komet begitu tipis sehingga hanya dapat dilihat
dengan teropong bintang. Molekul dan atom netral terus mengembang keluar hingga
mereka terionisasi. Atom-atom hidrogen membentuk awan hidrogen besar. Awan
hidrogen yang mengelilingi nukleus komet Halley tahun 1986 tumbuh hingga
diameter ratusan ribu kilometer.
Efek ion hidrogen yang dilepaskan oleh Komet Halley pada
angin matahari dideteksi sejauh 35 juta kilometer dari nukleus. Sebuah
gelombang kejut ketika gas komet menahan dan memperlambat angin matahari
ditemukan sekitar 400 ribu kilometer di depan komet.
Ekor komet terbentuk dari gas koma dan selalu menjauhi
Matahari. Semula, diduga bahwa tekanan dari radiasi Matahari adalah
satu-satunya penyebabnya, namun saat ini telah diketahui bahwa angin Matahari
memiliki peranan yang lebih besar dalam menentukan arah ekor komet. Angin Matahari
mengandung partikel-partikel yang terlempar dari Matahari. Kekuatan tekanan
dari partikel-partikel ini terhadap molekul gas dalam koma berkisar 100 kali
lebih besar dari kekuatan gravitasi Matahari, dengan demikian molekul-molekul
tersebut terdorong oleh angin Matahari. Angin Matahari tidaklah stabil, dan
dapat mempengaruhi struktur ekor komet. Flare Matahari dan gangguan lainnya
pada Matahari sesekali dapat membuat ekor komet terlihat bergolak atau
berbelok.
Sebuah komet dapat memiliki satu daripada dua jenis ekor,
atau bahkan kedua-duanya sekaligus–yang biasa disebut sebagai komet berekor
ganda. Jenis ekor komet yang pertama adalah ekor yang memanjang dan hampir
lurus, memiliki struktur yang mirip serabut yang terdiri dari gas yang
terionisasi. Tipe ini digolongkan sebagai ekor Tipe I. Sedangkan tipe ekor
komet lainnya yang tergolong sebagai Tipe II, atau “ekor debu” berbentuk
kelokan yang tajam dan lebih kabur. Tipe ini tersusun atas debu yang diterpa
oleh cahaya Matahari. Sebuah komet dapat memiliki beberapa ekor debu disamping
juga ekor gas (Tipe I). Beberapa komet diketahui memiliki ekor yang ganjil, di
mana ekornya menunjuk ke arah Matahari (contohnya adalah komet Arent Roland,
1957 III). Ekor komet jenis ini terdiri dari lapisan debu yang sangat tipis
yang keluar dari lapisan terluar komet dan terkumpul disekitar orbit komet. Gas
yang menyusun ekor komet di antaranya CO+, molekul nitrogen, CH+, karbon
dioksida, dan OH+. Ion-ion tersebut, seperti yang juga dijumpai pada koma
terbentuk saat molekul yang lebih besar terpisahkan oleh angin Matahari.
Jet
Pemanasan yang tidak merata dapat menyebabkan gas baru
dihasilkan keluar dari titik lemah pada permukaan inti komet, mirip dengan
geyser. Aliran gas dan debu dapat menyebabkan inti berputar, dan bahkan
terpecah. Pada tahun 2010 terungkap es kering (karbon dioksida padat) dapat
mengalir keluar dari inti komet. Ini karena pesawat ruang angkasa terbang
mendekat sehingga dapat melihat tempat jet itu keluar, kemudian mengukur
spektrum inframerah pada saat itu yang menunjukkan bahan-bahan penyusunnya.
Fenomena komet
Komet merupakan fenomena alam yang amat menarik untuk
diamati. Pada tahun 1705 Edmond Halley memperkirakan bahwa komet terlihat pada
tahun 1531, 1607, 1682, dan 1758. Komet Halley—begitu nama komet
tersebut—terakhir terlihat pada tahun 1986 silam. Inti atau pusat dari Komet
Halley di perkirakan kurang lebih 16 × 8 × 8 km. Inti dari Komet Halley sangat
gelap.
Diperkirakan Komet Halley akan tampak lagi tahun 2061,
karena kemunculan Komet Halley ini 76 tahun sekali. Komet-komet lain yang cukup
dikenal adalah Komet West, Komet Encke (muncul tiga tahun sekali), Komet
Hyakutake, dan Komet Hale-Bopp.
Komet merupakan benda kecil yang sangat sulit untuk dilihat.
Meskipun demikian, benda tersebut merupakan satu-satunya planetoida yang
dikenal sejak zaman purbakala. Ketika komet mendekati matahari, terjadi efek
visual yang spektakuler. Komet tersebut menguap dan memiliki ekor yang terang,
membentang hingga puluhan juta kilometer di belakangnya. Saat ini diketahui
terdapat banyak komet yang telah menghantam planet-planet. Komet mungkin turut
berperan dalam mengembangkan kehidupan di Bumi. Komet berbeda dengan asteroid,
benda tersebut berbahan utama es dan debu. Para ahli berpendapat bahwa komet merupakan
bola salju kotor.
Komet atau benda bergerak di langit jumlahnya banyak sekali.
Masing-masing komet memang telah diberi nama, sekalipun masyarakat awam tak
akan mengenal seluruh nama-nama komet tersebut. Salah satu nama komet yang
mungkin sering didengar adalah komet Halley. Masing-masing komet tidak saja
diberi nama yang berbeda namun sebenarnya bila diamati dengan saksama, memiliki
ciri-ciri yang berbeda pula satu sama lainnya.
Komet adalah salah satu benda langit yang sering diartikan
sebagai bintang jatuh. Namun sebenarnya komet bukanlah bintang, ia adalah benda
langit yang mengitari matahari dan memiliki orbitnya sendiri seperti planet.
Dengan demikian komet seperti juga planet akan terus berputar mengitari
matahari pada orbitnya.
Hal unik dari benda langit ini adalah ketika komet mendekati
matahari, komet akan membentuk suatu atmosfer di sekelilingnya. Ketika komet
melaju dengan sangat cepat, atmosfer ini bahkan bisa membentuk sebuah ekor
sehingga komet terlihat sangat indah. Pada saat membentuk ekor inilah
seringkali terlihat dari bumi sebagai sebuah bintang berekor, sehingga ada pula
yang mengatakan komet sebagai bintang berekor.
Pengamatan lebih detail tentang komet tentu saja dengan
menggunakan teropong bintang, sehingga bisa mengamati lebih detail tentang
bentuk dan ciri-ciri khususnya. Seperti telah disinggung sebelumnya selain
memiliki nama yang berbeda, masing-masing komet ini juga memiliki ciri dan
karakter yang berbeda.
Orbit komet
Semua komet beredar di tata surya dalam orbit elips (bulat
telur). Komet yang tercatat memiliki periode orbit terpendek adalah komet Encke
(3,3 tahun), sedangkan komet yang memiliki periode panjang, memerlukan waktu
hingga ribuan tahun untuk satu kali mengorbit Matahari. Beberapa komet yang
diamati menunjukkan bahwa komet itu hanya sekali muncul dalam orbit parabolik
atau hiperbolik yang membawanya mendekati Matahari hanya dalam sekali seumur
hidupnya, menimbulkan suatu kemungkinan bahwa komet tersebut mungkin berasal
dari luar tata surya, namun kurangnya data membuat dugaan ini sulit untuk
dibuktikan.
Hampir seluruh komet yang kita kenali mendekati Matahari
dalam jarak antara 0,005 hingga 2,5 SA (satuan astronomi) pada perihelion.
Apabila perihelion komet lebih jauh dari 2,5 SA, komet biasanya tidak dapat
diamati. Banyak di antara komet memiliki aphelion di sekitar orbit planet luar.
Sekelompok komet yang terdiri dari sekitar 75 komet diketahui sebagai “keluarga
dekat” Yupiter dan memiliki aphelion di sekitar orbit planet tersebut. Beberapa
di antaranya merupakan kelompok komet yang mengorbit secara bersama-sama. Komet
jenis ini biasanya merupakan sisa-sisa dari sebuah komet raksasa yang kemudian
pecah dikarenakan pengaruh gravitasi dari Matahari atau sebuah planet.
Para ilmuwan telah memindai sekitar 900 orbit komet.
Beberapa di antaranya memiliki orbit di antara garis edar planet Venus dan Mars
dan memerlukan beberapa tahun untuk berevolusi. Sementara yang lainnya,
memiliki orbit yang eksentris, yaitu berbentuk lonjong dan memerlukan waktu
berabad-abad untuk melakukan revolusi. Komet sering diklasifikasikan menurut
panjang periode orbit mereka: semakin lama periode lebih panjang elips.